Tidur Mendengkur Bisa Berakibat Fatal
Pasangan enggan menemani Anda berbelanja di akhir pekan, sering tampak lesu, kurang termotivasi atau tidak produktif? Jangan buru-buru menyebutnya sebagai pemalas. Perhatikan kebiasaan tidurnya, jika ia mendengkur kemungkinan besar ia menderita gangguan tidur yang berbahaya!
Tidur mendengkur merupakan tanda terjadinya penyempitan saluran nafas atas. Repotnya, pada saat-saat tertentu saluran nafas tersumbat total, sehingga walaupun gerakan nafas masih ada, pertukaran udara sama sekali tidak terjadi. Inilah yang disebut sebagai sleep apnea atau henti nafas saat tidur.
"Obstructive sleep apnea (OSA) adalah sebuah gangguan tidur yang paling banyak diderita, namun paling banyak juga diabaikan," ujar dr. Andreas A. Prasadja, Sleep Technologist dari Sleep Disorder Clinic, Rumah Sakit Mitra Kemayoran, Jakarta.
Young dan Peppard menyatakan bahwa 1 dari 5 populasi di Amerika menderita penyakit ini, dengan 80% di antaranya tidak terdiagnosa. "Ini disebabkan oleh pemahaman masyarakat yang masih menganggap tidur mendengkur sebagai sesuatu yang wajar,"ujar dr. Andreas.
Apa saja tanda-tanda OSA? Berikut sejumlah pertanda seseorang mengidap OSA:
1. Tidur mendengkur dengan periode henti nafas (apnea).
2. Kantuk berlebihan di siang hari.
3. Tersedak ataupun rasa kehabisan nafas saat tidur.
4. Kualitas tidur yang kurang nyenyak atau insomnia.
5. Mulut terasa kering saat terbangun.
6. Konsentrasi terganggu.
7. Daya ingat menurun.
8. Mudah marah.
9. Hipertensi dan/atau diabetes.
10. Nyeri dada di waktu malam.
11. Depresi.
12. Libido menurun.
13. Sakit kepala di pagi hari.
14. Sering ke kamar mandi di malam hari.
15. Bentuk leher yang pendek namun besar.
Apakah mendengkur berbahaya? Jawabnya ya. Perhatikan orang yang mendengkur, setiap kali suara dengkuran berhenti, beberapa saat kemudian akan diikuti periode gasping seolah nafas baru terbebas. "Pada saat ini terjadi periode micro arousal yang membangunkan otak sejenak.
Walaupun si penderita tidak sadar, namun proses tidur sudah terganggu sehingga kualitas tidur pun jadi buruk. Sebab itulah penderita sleep apnea mudah merasa lelah ataupun sulit berkonsentrasi," lanjutnya.Pada tahap yang sudah menahun, kantuk bisa tak tertahankan.
Ini dialami oleh seorang masinis Shinkansen (kereta cepat) di Osaka yang sudah beberapa waktu sering merasa lelah dan mengantuk tanpa bisa menjelaskan alasannya. The Japan Times (3 Maret 2003,) melaporkan bagaimana si masinis tertidur selama 8 menit sehingga kecelakaan pun terjadi.
Di kemudian hari terungkap bahwa si masinis ternyata menderita sleep apnea. Sementara Kyodo News, 7 Juli 2004, memberitakan seorang pilot penerbangan domestik yang tertidur di kokpit ternyata juga menderita sleep apnea. Lain lagi yang dialami oleh seorang penerbang pesawat tempur F-16s AU Amerika yang harus diberhentikan karena menderita gangguan tidur yang sama (Salt Lake Tribune, 14 Agustus 2003)
Bahaya lain yang mengancam, imbuh dr. Andreas, adalah risiko terjadinya hipertensi, diabetes, berbagai gangguan jantung, stroke hingga kematian. Dalam lembar panduan yang dikeluarkan oleh Joint National Committee (JNC) yang ketujuh telah dicantumkan bahwa sleep apnea adalah salah satu penyebab terjadinya hipertensi, lanjut dr. Andreas.
Menurut penelitian Shahar dkk (2001) pasien dengan OSA mempunyai risiko 2,4 kali lebih besar untuk menderita payah jantung. Dua penelitian berbeda yang dilakukan oleh Resnick dan Einhorn menunjukkan bahwa 60 – 70% pasien diabetes juga menderita OSA.Bagaimana diagnosis dan perawatannya? Untuk menegakkan diagnosis OSA diperlukan pemeriksaan Polysomnography (PSG) yang dilakukan di 'sleep laboratory.'
"Pemeriksaan yang telah menjadi standar internasional untuk mendiagnosis gangguan tidur ini terdiri dari perekaman gelombang otak, gerakan bola mata, teganggan otot dagu, aliran udara nafas, gerakan nafas, suara dengkuran, irama jantung dan gerakan kaki," ujar dr. Andreas.
Hasilnya adalah gambaran fungsi-fungsi tubuh saat tidur sepanjang malam yang mengarah pada diagnosis suatu gangguan tidur. Salah satu hasil diagnosis PSG berupa angka indeks rata-rata jumlah henti nafas perjam (Apnea-Hypopnea Index, AHI) menjadi acuan derajat keparahan OSA.
0-5/jam : Mendengkur tanpa sleep apnea
5-15/jam : OSA Ringan
15-30/jam : OSA Sedang
>30/jam : OSA Berat
Menurut dr. Andreas, standar emas perawatan OSA adalah dengan menggunakan Continuous Possitive Airway Pressure (CPAP.) CPAP memberikan udara bertekanan yang diharapkan akan membuka sumbatan pada oropharyng dengan demikian periode apnea tidak akan terjadi.
Namun penggunaan alat ini menghadapi tantangan tersendiri berupa proses adaptasi bagi penderita. Tidak jarang penderita merasa risih dengan tiupan udara bertekanan maupun masker yang harus dikenakan sepanjang malam. Belum lagi tanggapan keluarga dan lingkungan yang masih asing dengan penggunaan alat tersebut. Seiring kemajuan teknologi dan rancangan masker telah menciptakan kenyamanan yang lebih baik bagi pasien.
Untuk mengatasi kendala ini biasanya hanya diperlukan edukasi yang tepat bagi penderita dan keluarganya.Pilihan terapi lainnya berupa pembedahan masihlah dalam perdebatan. Teknik-teknik seperti uvulo palato-pharyngoplasty (UPPP), mid-face advancement, glossectomy, tounge resection, pillar implant procedure dan lain-lain, masih belum memberikan hasil yang memuaskan.
Beberapa teknik pembedahan terbukti efektif mengoreksi dengkuran tanpa sleep apnea dan sleep apnea ringan. Namun dengan kemajuan teknologi pembedahan yang semakin non-infasif, bukannya tidak mungkin di masa depan, pembedahan menjadi terapi primer bagi OSA.
(HanyaWanita)
No comments:
Post a Comment